Oleh: Dr. Hasanuddin Atjo
Kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2014 – 2024) angka kemiskinan nasional turun sebesar 2,39 % dari 10,96 % (27,73 juta jiwa) menjadi 8,57 % (24,06 juta jiwa).
Seseorang dikatakan miskin bila pengeluaran per bulan untuk belanja makanan dan non makanan dibawah garis kemiskinan yang ditetapkan BPS (Badan Pusat Statistik).
Garis kemiskinan tahun 2014 sebesar Rp312.386, dan naik jadi Rp595.242 tahun 2024. Inflasi menjadi satu diantara faktor berpengaruh terhadap garis kemiskinan itu.
Baca Juga: Di Labkesmas Expo, Gubernur Anwar Hafid Sampaikan Keunggulan Program Berani Sehat
Karena itu pemerintah sangat konsern agar inflasi terjaga. Berdasar data BPS, memberi informasi bahwa pemerintah telah berhasil menjaga inflasi pada kurun waktu 2014-2024.
Besaran inflasi pada rentang waktu itu terjaga 1,5 – 3,5%. Terkecuali inflasi tahun 2014 sebesar 6,4 %, dikarenakan naiknya harga BBM dampak regulasi mengurangi subsidi.
Presiden Prabowo Subianto bersama kabinet Merah Putih memproyeksikan kemiskinan pada tahun 2029 berada pada angka 4,5 – 5 0 %. Sejumlah program langsung dan tidak langsung telah dipersiapkan.
Program tersebut antara lain Sekolah Rakyat ( SR), Makan Bergizi Gratis (MBG), serta Koperasi Desa Merah Putih di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Baca Juga: Subuh Berjamaah Gubernur Anwar Hafid di Kota Cengkeh
Selain itu, melalui Asta Cita antara lain pembangunan infrastruktur dan tenaga kerja; swasembada pangan, energi dan air; peningkatan SDM; hilirisasi dan reformasi data.
Selanjutnya, secara khusus tetap melanjutkan program pengentasan berbasis DTSEN (data tunggal sosial ekonomi nasional) antara lain program perlindungan sosial, program pemberdayaan sosial dan ekonomi, serta pemenuhan kebutuhan dan infrastruktur dasar.
Sejumlah kekhawatiran muncul dari kalangan masyarakat bahwa maraknya praktek judi online (judol), pinjaman online (pinjol) dan peredaran narkoba, telah melahirkan sejumlah orang miskin baru. Dan ini menjadi tantangan yang serius mencapai target penurunan angka kemiskinan.
Tadinya, tidak miskin karena memiliki pekerjaan tetap, namun karena terperangkap judol, pinjol apalagi narkoba, maka mereka tidak memiliki uang yang cukup membeli makanan dan non makanan berdasarkan standar garis kemiskinan. Bahkan lebih parah lagi ketika kehilangan pekerjaan.
Baca Juga: Tolitoli Banjir, Ketinggian Air Nyaris di Atap Rumah
Bunga pinjol per hari antara 0,3 – 1 % . Dan dalam sebulan mencapai 9 – 30 %. Judol juga semakin marak oleh karena pola permainan bisa diatur. Seorang peserta pasti pernah dimenangkan pada akhirnya membuat yang bersangkutan terperangkap pada ilusi ingin “cepat kaya”.
Dampak dari narkoba apalagi. Selain merusak kesehatan, juga membuat seseorang akan kehilangan pekerjaan karena berurusan dengan hukum. Lebih parah lagi akan memicu membuat tindakan kriminal.
Baca Juga: Kematian Afif Siraja Sudah 10 Hari Berlalu, Kuasa Hukum Minta Keterbukaan Polda Sulteng
Lebih ironi lagi, orang miskin penerima bantuan sosial ikut terlibat judol dan pinjol serta narkoba, menambah tingkat keparahan kemiskinan dan terperangkap didasar jurang kemiskinan.
Sebelumnya kelompok itu posisinya telah mendekati garis kemiskinan dan tidak lama lagi akan keluar dari kategori orang yang miskin. Namun kembali lagi batas bawah kemiskinan yang perlu upaya kerja keras lagi.
Berdasarkan informasi dari PPATK bahwa tahun 2025 diperkirakan transaksi judol mencapai Rp1.200 triliun. Ini sangat besar dan dananya keluar dari Indonesia (capital fligt), tidak berputar dalam negeri. Sementara itu tingkat transaksi pinjol dan narkoba belum sebesar judol.
Baca Juga: Polisi Dihadang Warga saat Gerebek Narkoba di Kayumalue, Polda Sulteng Jelaskan Kronologinya
Terakhir bahwa ada secercah harapan Indonesia bisa keluar dari perangkap judol, pinjol dan narkoba. Harapan itu terlihat dalam setahun kerja yang ditunjukkan Presiden Prabowo Subianto.
Upaya “bersih bersih” dan reshuffel kabinet melahirkan menteri yang profesional dan berkomitmen tinggi menjadi satu indikasi positif bahwa harapan itu bisa terealisasi. Dengan catatan bahwa upaya itu harus diikuti oleh seluruh daerah. (*)





