Sumpah Pemuda dan Negeri Agraris

Sumpah Pemuda dan Negeri Agraris
Bibit pohon yang siap ditanam. Pemuda harus menjadi pelopor pertanian di negeri ini untuk wujudkan ketahanan pangan nasional dan daerah.

Oleh: Ari Loru (penulis lepas)

Oktober selalu datang dengan aroma sejarah. Ada sesuatu yang bergerak pelan di dada bangsa ini sebuah denyut lama yang berusaha mengingatkan: kita pernah bersumpah untuk bersatu. Di tengah hiruk-pikuk politik dan gemuruh mesin kota, gema Sumpah Pemuda masih bergetar di telinga bangsa yang sering lupa pada akar tanahnya sendiri.

Bacaan Lainnya

Dulu, para pemuda berkumpul bukan untuk mencari kursi, bukan pula untuk memburu sensasi. Mereka berkumpul karena kegelisahan yang sama: tanah air yang subur tapi dijajah, rakyat yang rajin bekerja tapi miskin hasilnya, dan bangsa yang besar tapi kehilangan arah. Dari kegelisahan itulah lahir satu tekad: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia.

Dari Palu ke New York: Refleksi atas Suara Indonesia di PBB

Namun, sembilan puluh tujuh tahun kemudian, kita perlu bertanya: sudahkah sumpah itu tumbuh di ladang yang subur? Ataukah ia hanya tinggal jargon yang dibaca di podium tiap 28 Oktober? Bangsa ini masih disebut negeri agraris, tapi sawah-sawah mulai digantikan beton, dan petani sering hanya jadi catatan statistik pembangunan.

Di warung kopi pinggir jalan, para petani sering berbicara dengan nada pasrah. Mereka tahu harga pupuk naik, cuaca tak menentu, dan hasil panen kadang tak sebanding dengan kerja keras. Tapi di antara kepulan asap kopi itu, masih tersisa keyakinan bahwa bangsa ini berdiri dari tanah dari keringat orang-orang kecil yang mencangkul tanpa banyak bicara.

Baca Juga: Ayuning Hrdayani, Siswi SMA 1 Tolitoli Terpilih Jadi Putri Danau Poso 2025

Seperti kata Mohammad Hatta, “Perekonomian yang sehat ialah perekonomian yang berakar pada tanah dan tenaga rakyatnya sendiri.”

Sumpah Pemuda sejatinya bukan hanya tentang bahasa dan persatuan, tapi juga tentang keberanian menanam cita-cita di tanah sendiri. Bila para pemuda 1928 berjuang melawan penjajahan, maka pemuda hari ini seharusnya berjuang melawan ketimpangan yang membuat petani tetap terjajah di negerinya sendiri.

Tan Malaka pernah mengingatkan, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Maka idealisme itulah yang seharusnya menyuburkan ladang-ladang yang mulai gersang oleh kepentingan.

Baca Juga: Air Mata Garuda di Pelupuk Mata Jay Idzes

Negeri agraris yang sejati bukan diukur dari luas sawah, tapi dari cara bangsa ini menghargai petaninya. Literasi politik kita harus sampai ke ladang: bahwa kedaulatan pangan adalah bagian dari kemerdekaan sejati.

Ki Hajar Dewantara menulis, “Tanah air tidak hanya tempat berpijak, tapi juga sumber hidup yang harus dijaga dan dihormati.” Jika bahasa mempersatukan, maka pertanianlah yang memberi kita makan. Tanpa keduanya, persatuan hanya tinggal slogan di baliho.

Cobalah kita lihat lebih jujur: di sekolah, anak-anak lebih hafal nama pahlawan perang ketimbang nama varietas padi. Di media sosial, pemuda lebih sibuk berdebat soal politik elektoral daripada belajar soal ketahanan pangan. Padahal, Bung Karno pernah berkata, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Tapi mungkin dunia akan lebih kokoh bila sepuluh pemuda itu juga mencintai tanah dan petaninya.

Baca Juga: Pemuda Sibalaya Utara Ikut Kemah Pembauran Pemuda di Bora

Kopi yang kita seduh pagi ini pun mengajarkan filosofi yang sama. Ia lahir dari biji kecil yang menembus tanah, disiram hujan, dipetik dengan sabar, lalu disangrai hingga mengeluarkan aroma kehidupan. Begitu pula bangsa ini: mesti berani menanam, merawat, dan menyeduh kembali cita-cita kemerdekaannya.

Dalam aroma kopi yang pekat itu, kita menemukan kesadaran bahwa kemerdekaan sejati selalu tumbuh dari tanah bukan dari ruang rapat kekuasaan.

Sumpah Pemuda harus dibaca ulang di tengah hamparan sawah, bukan hanya di ruang seminar. Di sana kita akan sadar bahwa persatuan sejati bukan sekadar bahasa, tapi kerja bersama untuk menjaga tanah agar tetap memberi makan generasi yang akan datang.

Baca Juga: Judol, Pinjol serta Narkoba Lahirkan Orang Miskin Baru, PR Pengentasan Kemiskinan

Seperti pesan Buya Hamka, “Tanah air bukan hanya sejengkal bumi, tetapi tempat di mana jiwa manusia tumbuh dan berbakti.”

Dan mungkin, di ujung senja nanti, ketika secangkir kopi diseruput di beranda rumah petani, kita bisa berkata pelan: sumpah itu belum usai. Ia masih hidup di setiap butir padi yang tumbuh, di setiap tangan yang menanam, dan di setiap hati yang masih percaya bahwa Indonesia akan kuat selama ia tidak lupa pada tanahnya sendiri. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *