Hijau Adalah Masa Depan

Hijau Adalah Masa Depan
Sekolompok pemuda di Desa Loru, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, menanam sayur hijau tanpa pestisida. Mereka komitmen menghijaukan bumi tanpa pestisida. (Foto: Ari).

Oleh: Moh Taqwa

“Kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat dapat mengolah tanahnya sendiri, menanam hasilnya sendiri, dan memakan dari tangannya sendiri.” – Tan Malaka

Bacaan Lainnya

Sigi, 4 November 2025, di tengah ancaman perubahan iklim dan krisis pangan, sekelompok anak muda di Desa Loru, Kabupaten Sigi, menyalakan secercah harapan. Dipimpin oleh Bung Iwan bersama dua sahabat hijau lainnya, Agil dan Sahban, mereka menggagas gerakan pertanian berkelanjutan tanpa pestisida kimia sintetis. Bagi mereka, pertanian bukan sekadar pekerjaan, melainkan jalan menjaga kehidupan.

Baca Juga: Sumpah Pemuda dan Negeri Agraris

Berawal dari keprihatinan terhadap dampak buruk pestisida terhadap tanah dan kesehatan manusia, ketiganya memutuskan untuk memulai sesuatu yang berbeda.

Fajar Bahari atau yang akrab disapa Ari, bergabung bersama Bung Iwan, Agil, dan Sahban. Mereka turun langsung ke lahan, mengolah tanah, menanam bibit, dan menamai kebun mereka Hijau Masa Depan adalah simbol tekad untuk menanam pangan sehat bagi bumi dan manusia.

“Ada ancaman besar di depan mata,” kata Ari, sambil menunjuk ke arah ufuk timur di mana siluet pegunungan terlihat samar. “Di tengah ancaman emas kuning yang melintasi potensi gunung, suatu saat akan menjadi bom waktu ke depannya. Karena itu, kami memilih menanam sesuatu yang hidup, bukan menggali yang menghabiskan.”

Dari situlah mimpi sederhana itu tumbuh. Dengan alat seadanya dan semangat yang tak pernah padam, mereka mulai mengolah tanah tanpa pupuk kimia, tanpa racun, hanya dengan air, dedaunan, dan waktu. Tanah kembali bernafas, dan sayuran tumbuh dengan warna hijau yang lebih alami.

Baca Juga: Air Mata Garuda di Pelupuk Mata Jay Idzes

Dalam waktu singkat, hasil panen dari kebun Hijau Masa Depan mulai menarik perhatian. Sayuran segar seperti kangkung, bayam, dan sawi tumbuh lebat tanpa pestisida. Warga sekitar pun mulai percaya, bahwa pangan sehat bukan mimpi mahal cukup ditanam dengan kejujuran pada alam.

“Kami tidak hanya menanam sayur, tapi juga menanam kesadaran,” ujar Bung Iwan. Ia percaya bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil, dan langkah kecil itu kini sedang tumbuh di tanah Loru.

Gerakan mereka bukan sekadar tentang pertanian, tetapi juga perlawanan halus terhadap cara pikir lama yang menganggap bertani itu ketinggalan zaman. Ari, Agil, dan Sahban ingin membuktikan bahwa bertani bisa modern, cerdas, dan bermartabat. Bahwa masa depan bukan di kota, tapi di tanah sendiri.

Baca Juga: Belum Move On dengan STY

Dukungan mulai datang dari berbagai pihak. Beberapa guru, petani senior, bahkan mahasiswa, ikut belajar dan membantu di kebun Hijau Masa Depan. Semangat gotong royong yang lama hilang, kini perlahan hidup kembali di antara deretan bedeng sayur dan aroma tanah basah.

Mereka berharap, gerakan kecil ini akan menular ke desa-desa lain di Sigi. Bahwa suatu hari nanti, Loru akan dikenal bukan karena tambang atau logam, tapi karena “Lumbung Emas Hijau” hasil kerja tangan muda yang mencintai bumi dan menjaga warisan alamnya.

Baca Juga: Baca Juga: PSI Sigi dan Kursi Harapan di Era AKR 2025

Melalui semangat “Pangan Sehat Aman Konsumsi”, Ari, Bung Iwan, Agil, dan Sahban terus menanam keyakinan bahwa pertanian tanpa pestisida bukan utopia. Seperti pesan Buya Hamka, “Kerja yang lahir dari keikhlasan dan cinta tanah air akan menumbuhkan peradaban.”

Dari tanah Loru, mereka membuktikan bahwa cinta pada bumi bisa menumbuhkan peradaban hijau bagi masa depan. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *