Oleh: Dr. Hasanuddin Atjo
Menjelang HUT Kemerdekaan RI yang ke-80, laman sejumlah media cetak maupun media elektronik ramai mengulas isu protes warga pada pemimpin daerahnya, karena persoalan tarif PBB-2P (Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan).
Bupati Pati, Sudewo, salah satu yang terkena apesnya, gegara membuat kebijakan menaikkan tarif PBB-2P meningkat dua setengah kali atau sebesar 250 persen. Dampaknya Bupati ini didemo dan diminta mundur oleh warganya.
Meski Bupati telah meminta maaf dan mencabut keputusan itu, tetapi warga bersikukuh agar bupati segera diturunkan. Diharap kejadian ini lebih pada persoalan terkait naiknya tarif PBB-2P dan bukan oleh politik.
Boleh dibilang bahwa semua kabupaten/kota di Indonesia telah menaikkan tarif PBB-2P yang harus dibayar warganya. Bahkan ada kabupaten/kota yang menaikkan tarif PBB-2P secara ekstrem sebesar 1.000 hingga 1.250 persen.
Kemudian muncul pertanyaan mengapa daerah tega beramai tamai menaikkan tarif PBB-2P hingga duabelas setengah kali. Sementara itu rakyat sedang menghadapi tekanan ekonomi yang menurunkan daya beli.
Sebagai contoh bahwa pada saat ini usaha pada sektor pertanian (arti luas) di wilayah perdesaan baru menunjukkan trend naiknya kesejahteraan warga yang berusaha pada sektor itu.
Hal ini ditandai oleh Nilai Tukar Petani (NTP) Nasional yang berada pada kisaran angka 116,79 – 122,78 sepanjang tahun 2024. NTP itu diperoleh dari membagi indeks harga yang diterima petani (it) dengan indeks harga yang dibayarkan (ib).
Angka NTP 116,79 – 122,78 poin menunjukkan potensi saving (menabung) petani, peternak, pekebun, nelayan dan pembudidaya ikan antara 16,79 – 22, 78 persen. Dan angka ini meningkat dari tahun tahun sebelumnya.
Dikuatirkan meningkatnya tarif
PBB-2P berdampak terhadap meningkatnya indeks yang harus dibayarkan petani (ib) sehingga menurunkan potensi menabungnya yang mulai baik.
Setidaknya dua kemungkinan yang menjadi faktor penyebab mengapa daerah ramai-ramai meningkatkan tarif PBB-2P dengan lompatan yang sangat signifikan.
Pertama, berkurangnya dana transfer dari Pemerintah pusat ke daerah; sehingga kapasitas fiskal daerah berkurang. Dan yang paling gampang menutupi kekurangan tersebut adalah meningkatkan tarif PBB-2P yang harus dibayar warganya.
Kedua, sangat mahal ongkos politik untuk menjadi seorang kepala daerah. Nilainya bisa mencapai angka puluhan hingga ratusan milyar rupiah. Dana yang sudah dikeluarkan tentunya harus dikembalikan terutama jika menggunakan jasa pihak ketiga (sponsor).
Sebuah diskusi kecil mengulas antara ongkos pilkada dan tarif PBB-2P membuat satu pernyataan korelasi bahwa “Kau ambil uangku, Aku ambil uangmu, siapa yang salah?” Siapa yang salah menjadi hal yang menarik karena itu yang menjadi sebab utama hingga daerah meningkatkan PBB-2P.
Sistem pilkada menerapkan pemilihan langsung pada satu sisi memberi manfaat edukasi demokrasi. Namun pada sisi lain warga menjadikan momen ini sebagai komoditas. Dan kemudian berkembang sebuah pernyataan korelasi bahwa “ada uang ada suara”. Kondisi ini sudah memprihatinkan.
Wacana kepala daerah dipilih oleh suara perwakilan rakyat melalui DPRD menjadi pilihan yang lebih rasional dengan kondisi pendapatan perkapita warga tergolong rendah sekitar Rp78,62 juta atau sekitar USD 4.960,3 pada tahun 2024.
Sementara itu sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai demokrasi dalam sebuah pilkada langsung akan baik bilamana pendapatan perkapita warganya mencapai minimal USD 6.000.
Pilkada melalui pungutan suara di DPRD dinilai oleh sejumlah kalangan selain lebih hemat, juga bisa melahirkan kepala daerah yang lebih berkualitas. Wacana ini tentunya perlu didorong dan diperjuangkan.
Terakhir bahwa peringatan HUT Kemerdekaan RI yang ke 80 dijadikan momenrum untuk membawa Indobesia menjadi lebih pada masa mendatang. SEMOGA. (*)



