Dari Palu ke New York: Refleksi atas Suara Indonesia di PBB

Dari Palu ke New York: Refleksi atas Suara Indonesia di PBB
Aril (Ari Loru).

Oleh: Aril (Ari Loru), penulis lepas

Segelas kopi hitam di meja pagi selalu memberi ruang untuk merenung. Aroma pahitnya seakan mengajarkan tentang keteguhan, tentang waktu yang harus dilalui sebelum rasa sesungguhnya terasa di lidah.

Bacaan Lainnya

Begitu pula dengan panggung internasional, yang baru-baru ini kembali diisi suara Indonesia melalui pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum PBB. Dari Palu hingga New York, gema itu membawa pesan politik, kesabaran, dan harapan.

Pidato Prabowo kali ini bukan sekadar kata-kata yang berhamburan di ruangan megah PBB. Ia bicara tentang Palestina, tentang luka kemanusiaan yang tak kunjung sembuh.

Baca Juga: Dari Cedera ke Cahaya: Dembele dan Pelajaran Politik Kesabaran

“Kita harus mengakui Palestina sekarang,” begitu tegasnya.

Kalimat itu menjadi semacam dentuman di tengah dunia yang kerap menunda, dunia yang terbiasa menyimpan janji perdamaian di rak berdebu sejarah.

Seperti halnya pemain bola yang sering dicemooh karena cedera, Palestina adalah bangsa yang tak henti dilukai namun tetap bertahan. Prabowo, dengan gaya yang lugas, mencoba menempatkan Indonesia sebagai sahabat yang bukan hanya bicara, tapi siap menawarkan pasukan penjaga perdamaian

Sebuah langkah yang memberi kesan: kita bukan sekadar penonton, tapi bagian dari panggung sejarah.

Baca Juga: Luka Affan, Adalah Luka Seluruh Rakyat yang Percaya pada Keadilan

Namun diplomasi tak hanya tentang apa yang diucapkan, melainkan juga bagaimana dunia merespons. Ada momen kecil yang jadi sorotan: mikrofon Prabowo sempat mati karena pidatonya melebihi durasi.

Seperti kopi yang terlalu lama dibiarkan, panasnya bisa hilang sebelum dirasakan sepenuhnya. Politik luar negeri pun begitu: kata-kata indah butuh ketepatan waktu agar tak kehilangan daya.

Meski demikian, substansi lebih penting daripada gangguan teknis. Pidato itu menegaskan posisi Indonesia sebagai bagian dari Global South yang ingin lebih aktif.

Dunia hari ini membutuhkan suara dari pinggiran, dari negeri kepulauan yang tahu rasanya berjuang melawan kolonialisme, dan tahu betapa mahal harga kemerdekaan.

Baca Juga: Uang Negara Terus Mengucur, KPK Diminta Usut Proyek Jalan Kebun Kopi

Pidato di PBB juga memperlihatkan keberanian Prabowo untuk menegaskan kembali tradisi politik luar negeri Indonesia: bebas aktif.

Di tengah blok-blok besar dunia yang saling berebut pengaruh, Indonesia berusaha menempatkan diri sebagai jembatan, bukan sekadar pengikut. Itu sejalan dengan sejarah panjang kita sejak Konferensi Asia-Afrika hingga Gerakan Non-Blok.

Di kafe kecil kota Palu, saya mendengar obrolan para rekan tentang pidato itu. “Kalau Indonesia bisa lebih berani di luar negeri, mestinya di dalam negeri juga begitu,” ujar seorang kawan, sambil menyeruput kopi susu. Benar juga.

Baca Juga: Proyek “Misterius” BPJN Sulteng di Jalan Poros Pantoloan – Tompe

Diplomasi luar negeri seharusnya sejalan dengan keberanian menyelesaikan persoalan kemanusiaan di rumah sendiri: dari persoalan lingkungan, tambang, hingga kesejahteraan rakyat di pelosok.

Pidato Prabowo adalah simbol, tapi simbol tak boleh berhenti di retorika. Dunia menunggu konsistensi: apakah Indonesia benar-benar akan menjadi penjaga perdamaian, atau hanya menambah daftar panjang negara yang pandai berbicara namun ragu bertindak. Politik kesabaran memang penting, tapi kesabaran tak boleh berarti pasrah.

Di dalam negeri, masyarakat tentu menaruh harapan bahwa keberanian di forum global akan berbanding lurus dengan keberanian membenahi masalah-masalah domestik.

Baca Juga: Dikonfirmasi soal Papan Proyek dan Kualitas Pekerjaan, Kasatker PJN II Sulteng: Cari Saja, Ada Masalah Kah?

Jika di New York Prabowo bicara lantang soal Palestina, di Palu dan pelosok nusantara rakyat berharap suara lantang itu juga hadir untuk memperjuangkan harga pangan, pendidikan, dan kesehatan.

Ada ironi yang selalu hadir: ketika pemimpin kita bicara di panggung global, rakyat di desa-desa masih menunggu jalan diperbaiki, listrik menyala, dan harga kopra yang stabil.

Maka, pidato di PBB seharusnya tak dilihat sebagai panggung jauh di New York semata, tapi juga sebagai cermin untuk memperbaiki dapur sendiri. Diplomasi luar negeri dan kebijakan dalam negeri mestinya berjalan seiring.

Diplomasi yang besar tanpa pijakan rakyat hanya akan menjadi etalase kosong. Sebaliknya, ketika suara rakyat kecil benar-benar menjadi dasar, maka pidato di PBB bisa menjadi gema dari denyut kehidupan bangsa sendiri.

Baca Juga: Selamat Bekerja Ibunda Guru Sulteng, Sry Nirwanti Bahasoan

Dari situlah wibawa sejati lahir: bukan dari podium internasional, melainkan dari keseharian yang diperjuangkan.

Pidato Prabowo juga sekaligus mengingatkan bahwa politik luar negeri adalah wajah bangsa di mata dunia. Ketika wajah itu tampil dengan percaya diri, dunia pun mulai menoleh. Namun agar sorotan itu tak cepat pudar, dibutuhkan kesinambungan, kerja nyata, dan keseriusan menjalankan apa yang pernah dijanjikan.

Kopi yang kita teguk pagi ini seharusnya tak hanya menghangatkan tubuh, tapi juga menyadarkan: bahwa politik luar negeri yang besar hanya bermakna bila rakyat kecil turut merasakan hasilnya.

Baca Juga: Santap Saus Ikan Tuna MBG, Siswa di Bangkep Diduga Keracunan Massal

Jika Prabowo benar-benar ingin mengangkat nama Indonesia di mata dunia, maka ia harus memastikan rakyatnya berdiri tegak, dengan martabat yang tak kalah tinggi dari pidato di PBB.

Akhirnya, kita belajar bahwa panggung internasional itu laksana cangkir kopi: ada kepahitan, ada kenikmatan, dan ada jeda yang harus dijaga.

Pidato Prabowo memberi sinyal keberanian, tapi kita menunggu bukti bahwa keberanian itu juga menyentuh kehidupan nyata. Politik, seperti kopi, tak cukup dinikmati aromanya saja—ia harus mengalir sampai ke dasar cangkir. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *