Oleh: Rizaldy Alif Syahrial
Sekitar pukul 13.00 WIB, Kamis 28 Agustus 2025, kabar duka menghampiri saya. Kabar itu bukan sekadar informasi, melainkan sebuah hentakan batin yang mengguncang kesadaran. Dr. Johny Salam, sosok guru, dosen teladan, sekaligus penjaga marwah intelektual di Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu, telah berpulang ke hadirat Sang Pencipta.
Dalam sekejap, waktu seakan berhenti. Saya teringat wajah beliau yang teduh sekaligus tegas, suara yang mantap penuh keyakinan, dan langkah-langkah yang senantiasa tegak meski dunia di sekitarnya kerap goyah.
Kematian memang selalu datang tiba-tiba, dan kali ini ia merenggut sosok yang bagi saya bukan sekadar akademisi, melainkan cahaya yang menuntun arah dalam perjalanan intelektual.
Baca Juga: Setelah Bertemu Prabowo, PBNU Keluarkan Imbauan ke Warga Nahdliyyin
Nama Johny Salam, telah lama identik dengan integritas. Di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Tadulako, beliau bagaikan benteng yang menjaga kehormatan akademik dari ancaman degradasi moral. Beliau dikenal sangat tegas menentang plagiarisme dan praktik joki tugas akhir. Baginya, plagiarisme bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan.
Bersama sahabat karibnya, Dr. Ridwan Tahir, beliau menjaga standar akademik dengan konsistensi yang luar biasa. Keduanya adalah pilar yang menopang bangunan intelektual, memastikan kampus tidak hanya menjadi tempat meraih gelar, tetapi juga ruang penggemblengan nilai, akal, dan moral.
Di tengah dunia pendidikan yang sering digoda kompromi, Johny memilih jalan yang tidak mudah. Ia tegas, meski kadang membuatnya tidak populer. Namun justru ketegasan itu membuatnya dihormati, baik oleh kawan maupun lawan. Inilah yang membedakan beliau. Intelektual sejati tidak mencari popularitas, melainkan berpegang pada kebenaran.
Pertemuan pertama saya dengan beliau terjadi pada tahun 2016, ketika beliau menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Tadulako. Saya masih mahasiswa muda yang penuh rasa kagum sekaligus segan. Saat itu, kesan pertama yang tertangkap adalah sosok yang tampak sangar. Wajahnya tegas, tatapannya tajam, suaranya berat serak dan mantap penuh wibawa.
Namun seiring waktu, kesan itu pelan-pelan runtuh. Di balik ketegasan yang tampak di permukaan, ternyata tersembunyi hati yang lembut, sebening embun pagi yang menetes perlahan. Ia bisa menegur dengan keras, tetapi sesudahnya menenangkan dengan penuh kasih. Ia bisa menolak dengan tegas, namun kemudian menjelaskan dengan sabar.
Dari beliau, saya belajar bahwa ketegasan bukanlah kekerasan hati. Ketegasan adalah cara menjaga agar nilai-nilai luhur tidak hilang dari ingatan. Seorang guru sejati, sebagaimana beliau, adalah perpaduan antara disiplin dan welas asih.
Pertemuan terakhir kami masih jelas dalam ingatan. Beberapa bulan lalu, kami makan malam bersama di sebuah restoran Padang di kawasan Jakarta Pusat.
Ada Beliau, Pak Dr. Ridwan, istri almarhum dan kak Muhammad Rizal. Setelah itu, kami, saya bersama Pak Johny, Pak Ridwan Tahir dan Kak Rizal, melanjutkan perbincangan panjang di sebuah kafe hotel hingga lebih 5 jam lamanya.
Percakapan malam itu penuh kehangatan. Kami berbicara tentang banyak hal, mulai dari keberanian menegakkan integritas, perjalanan akademik, dunia hukum yang penuh intrik, hingga kisah-kisah ringan yang sarat makna. Termaksud cerita lucu saat beliau sedang menempuh S3 bersama Ridwan Tahir.
Baca Juga: Aksi Demo Dimana-mana, Mantan Gubernur dan Wali Kota Palu Serukan Jaga Sulteng
Di momen itu, saya melihat beliau bukan hanya sebagai akademisi, melainkan juga sebagai sahabat, seorang manusia yang rendah hati, penuh humor, sekaligus penuh empati.
Beberapa waktu kemudian, kami sempat bertemu sebentar sekaligus ngopi di Makareem Café, tepat di depan Rumah Sakit Anutapura. Siapa sangka, rumah sakit itu kelak menjadi tempat beliau menghembuskan napas terakhir. Ada rasa getir yang sulit diungkapkan. Pertemuan singkat di depan rumah sakit itu ternyata menjadi perjumpaan yang terakhir.
Dalam dunia hukum pidana, nama Johny Salam juga tercatat dengan jelas. Beliau memiliki jejaring luas dan dihormati oleh para akademisi di berbagai kampus. Salah satunya adalah Prof. Bardah dari Universitas Diponegoro, yang dikenal sangat menghormati dan menyayangi beliau.
Yang membekas dari sosok Johny bukan hanya kapasitas akademiknya, tetapi keberaniannya. Keberanian ini bukan sekadar keberanian berbicara lantang, melainkan keberanian berdiri tegak saat banyak orang memilih diam. Keberanian untuk menjaga integritas akademik ketika yang lain tergoda jalan pintas. Keberanian untuk melawan arus meskipun harus berjalan sendirian.
Baca Juga: 5 Perguruan Tinggi Meriahkan Lomba Debat Hukum Hari Bhayangkara ke-78 Polda Sulteng
Inilah warisan terbesar beliau, yaitu keberanian moral dalam dunia akademik. Di tengah arus pragmatisme yang semakin kuat, beliau menunjukkan bahwa ada nilai yang tidak bisa ditawar: kejujuran, integritas, dan kecintaan pada ilmu pengetahuan.
Kematian selalu meninggalkan ruang hampa. Tetapi ketika yang pergi adalah seorang guru, kehampaan itu terasa jauh lebih dalam. Guru bukan hanya pengajar. Guru adalah penuntun jalan, cahaya di tengah kegelapan, oase di padang yang tandus.
Hari ini, kehampaan itu saya rasakan. Seakan ada salju yang jatuh di tanah tropis. Dingin, asing, dan menusuk hingga ke tulang. Saya menyebutnya sebagai rindu yang membeku. Rindu yang tidak bisa lagi saya sampaikan melalui tatap muka. Rindu yang kini hanya bisa diungkapkan lewat doa dan tulisan.
Kehilangan ini mengajarkan saya tentang rapuhnya kehidupan. Betapa fana segala kesibukan yang sering kita banggakan. Yang abadi bukanlah jasad, melainkan nilai, teladan, dan kenangan yang ditinggalkan.
Johny telah pergi, tetapi keteladanan beliau tetap hidup bersama kami. Ia akan hadir dalam setiap mahasiswa yang menolak plagiarisme, dalam setiap akademisi yang menjaga integritas, dalam setiap percakapan tentang keberanian.
Baca Juga: Anwar Hafid: Kedatangan Wapres Gibran Bawa Energi Baru bagi Poso Pascagempa
Sebagaimana dalam tradisi filsafat klasik, seorang guru dipandang sebagai mata rantai pengetahuan yang menghubungkan generasi. Seperti Socrates yang melahirkan Plato, seperti Plato yang kemudian melahirkan Aristoteles, seorang guru sejati tidak hanya mengajar teori, tetapi mewariskan cara berpikir dan keberanian moral.
Johny adalah sosok yang menyambungkan tradisi itu di tanah Tadulako. Ia tidak hanya memberi jawaban, tetapi juga menanamkan keberanian untuk mempertanyakan. Ia tidak hanya mengajarkan aturan hukum, tetapi juga menegaskan bahwa hukum tanpa moral adalah tubuh tanpa jiwa.
Kematian beliau mengingatkan kita bahwa setiap guru pada akhirnya akan berpulang, tetapi warisan nilainya akan terus hidup. Dalam hukum, dalam ruang kuliah, dalam percakapan para muridnya, dalam keputusan-keputusan kecil yang diilhami oleh ajarannya.
Saya menutup tulisan ini dengan perasaan yang berlapis-lapis. Ada duka karena kehilangan yang mendalam, ada rindu karena tak akan lagi bisa berbincang hangat dengannya, dan ada syukur karena pernah diberi kesempatan belajar dari seorang guru sejati.
Kepergian beliau bagaikan cairnya salju di musim semi. Salju di tanah tropis ini hanyalah rindu yang membeku, dingin yang menusuk jiwa di antara bayang cinta dan karya yang telah Pak Johny tinggalkan.
Baca Juga: Bahlil Lahadalia Sepakat dengan Gubernur Sulteng soal Pemasukan Tambang bagi Daerah
Pak Johny, bapak telah berpulang, meninggalkan kami para murid bersama sendu dalam petikan rindu. Namun, sebagaimana daun yang gugur lalu menjadi pupuk bagi kehidupan baru, demikian pula ajaran dan kasih sayangmu, Pak Johny. Ia tidak berhenti pada batas kehidupan fisik, melainkan terus berlanjut, menyuburkan benih-benih pemikiran, pengetahuan, dan cinta dalam hati kami yang pernah Engkau sentuh.
Sesungguhnya, tiada kematian dalam arti yang sejati. Tubuh hanyalah kembali ke tanah, berpadu dengan semesta, sementara ilmu, semangat, dan kebaikan bapak akan terus hidup dalam jiwa kami.
Engkau adalah energi yang tidak pernah musnah, hanya berubah rupa: dari seorang guru yang sabar di kelas menjadi kenangan yang abadi, dari senyummu yang hangat menjadi cahaya yang menuntun jalan kami.
Seperti yang dikatakan Guru Gai dalam kisah Anime Naruto, “puncak dari masa muda adalah kematian”, namun bukan berarti akhir, melainkan awal keberlanjutan yang lebih luas. Keberlanjutan dalam kehidupan yang menetes dalam murid-muridmu, mengalir dalam karya, dan terus bergaung dalam doa.
Baca Juga: Upacara HUT Kemerdekaan ke-80, DPRD Morut Tampil Kompak
Maka kami tidak melihatmu benar-benar pergi, Pak. Engkau hanya bertransformasi, melanjutkan peranmu dalam bentuk yang tak kasat mata. Kepergianmu adalah undangan bagi kami untuk menjaga api semangat yang pernah engkau sulut, agar ia tak padam oleh waktu.
Engkau mungkin telah gugur, tetapi semangatmu akan menjadi pupuk yang menyuburkan langkah kami, agar generasi selanjutnya terus tumbuh, mekar, dan berbuah dari kasih dan ilmu yang telah engkau wariskan.
Selamat jalan, Pak Johny Salam. Semoga Allah menempatkanmu di sisi terbaik. Kami akan terus menjaga api intelektual yang engkau nyalakan, agar tidak padam ditelan gelap zaman. Al-fatihah. (*)
Penulis adalah alumni Fakultas Hukum Untad Palu.



