PALU – Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Longki Djanggola, memberi perhatian serius kasus keracunan makan bergizi gratis (MBG) yang terjadi di Sulawesi Tengah.
Kasus keracunan MBG di Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kota Palu, menurut Longki menunjukkan adanya pelanggaran prosedur standar operasional atau SOP. Itu terjadi di dapur MBG atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Baca Juga: Kapolda Sulteng – Pangdam XXIII/Palaka Wira Bangun Sinergi dan Chemistry
Pengelolaan dapur MBG melibatkan banyak pihak. Ada perusahaan swasta, pelaku usaha daerah, TNI, Polri, hingga BIN.
Setiap dapur dikepalai Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) dan didampingi ahli gizi. Mereka bertanggung jawab mulai dari pemeriksaan bahan baku, proses masak, pemorsian, pengepakan, hingga distribusi.
Baca Juga: Terlalu Sayang Anak, Mendagri Jatuhkan Sanksi kepada Wali Kota Prabumulih
“Semua bahan baku dari mitra harus dicek dengan teliti. Kalau ada yang tidak layak konsumsi, harus ditolak dan diganti. Makanan juga jangan dimasak sejak malam untuk sajian pagi. Apalagi memanaskan ulang makanan sisa. Yang ideal adalah fresh from oven, sehingga aman dikonsumsi,” tegas Longki.
Ia mengungkapkan, pernah menemukan dapur yang tetap mengolah ikan yang sudah melek. Menurutnya, hal itu jelas berisiko.
Baca Juga: Selamat Bekerja Ibunda Guru Sulteng, Sry Nirwanti Bahasoan
“Kalau SOP dijalankan dengan benar, seharusnya kasus keracunan tidak akan terjadi. Saya minta pengelola dapur benar-benar bekerja penuh tanggung jawab. Jangan main-main dengan nyawa anak-anak kita,” ucapnya.
Longki juga menyarankan agar ikan jenis tuna, cakalang, dan ekor kuning tidak lagi digunakan. Sebab, ikan tersebut memiliki kandungan alergen tinggi jika sudah melek.
“Harus disortir satu per satu. Memang makan waktu, tapi lebih aman. Yang terpenting makanan yang disajikan higienis,” tambahnya.
Baca Juga: Gubernur – Forkopimda Deal Penertiban, Tak Ada Tempat bagi Tambang Ilegal di Sulteng
Ia mengingatkan agar kejadian serupa tidak terus berulang. Bila ada dapur yang bermasalah lebih dari sekali, menurutnya perlu dipertimbangkan untuk diputus kerjasamanya.
“Soalnya, kasus keracunan massal bisa saja dibawa ke ranah hukum jika ada orang tua yang merasa dirugikan,” ia mengingatkan. (*)





