PRABUMULIH – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) resmi menjatuhkan sanksi teguran tertulis kepada Wali Kota Prabumulih, Provinsi Sumatera Selatan Selatan, H. Arlan.
Sang wali kota dinyatakan terbukti menyalahgunakan wewenang setelah mencopot Kepala SMP Negeri 1 Prabumulih, Roni Ardiansyah. Ini bermula karena rasa sayang yang berlebihan kepada sang anak.
Baca Juga: Jangan Lewatkan Dinner Romantis di Swiss-Belinn Luwuk, Penasaran? Hanya 650K
Pencopotan kepsek dipicu persoalan sepele. Anak wali kota dilarang masuk halaman sekolah dengan mobil saat hujan deras. Masalah ini pun viral.
Kasus ini bermula ketika putri wali kota bernama, Aura, pulang latihan marching band beberapa hari sebelumnya. Karena hujan deras, sang guru menyarankan Aura turun langsung dari mobil agar tidak kehujanan.
Baca Juga: Batal Kaya Mendadak, Pelarian Sopir Bank Bawa Kabur Uang Rp10 Miliar Berakhir
Namun, satpam sekolah bernama Ageng menolak mobil masuk ke halaman, sesuai aturan yang dibuat kepala sekolah Roni. Akibatnya, Aura tetap harus turun di tengah hujan.
Mendengar cerita itu, emosi Arlan memuncak. Ia langsung mencopot jabatan Roni dan memutasi Ageng. Keputusan itu belakangan berbuntut panjang hingga menarik perhatian publik secara nasional.
Setelah diperiksa selama delapan jam oleh Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendagri pada Kamis (18/9/2025), Arlan akhirnya mengakui kesalahannya.
Ia menyebut tindakannya dipicu emosi sesaat sebagai seorang ayah, sehingga mengabaikan aturan dan prosedur mutasi jabatan.
“Saya minta maaf kepada Pak Roni, Pak Ageng, dan seluruh masyarakat Prabumulih. Emosi saya sebagai ayah telah mengalahkan akal sehat saya sebagai pemimpin,” ujar Arlan dalam klarifikasi terbuka.
Baca Juga: Situasi Lagi Sensitif, Mendagri Ingatkan Pejabat Daerah Beserta Keluarga: Jangan Flexing Kemewahan
Irjen Kemendagri, Sang Made Mahendra Jaya, menegaskan Arlan terbukti menyalahgunakan kewenangan. Selain sanksi tertulis, Partai Gerindra juga memberikan peringatan keras kepada kadernya itu.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi para kepala daerah agar tidak mencampurkan urusan pribadi dengan kebijakan publik saat ia memimpin. (*)
