Nafas Baru PSI Sigi Bersama Adi Kabarani Repadjori (AKR)

Nafas Baru PSI Sigi Bersama Adi Kabarani Repadjori (AKR)
Adi Kabarani Repadjori atau AKR, kini bergabung dengan PSI Sigi. (Foto: IST).

Oleh: Ari Loru, penulis lepas

Politik lokal di Kabupaten Sigi sedang berada pada persimpangan jalan. Setelah sekian lama ruang demokrasi didominasi wajah-wajah lama dengan pola yang nyaris stagnan, kini muncul dorongan kuat untuk melakukan regenerasi.

Bacaan Lainnya

Perubahan itu tak lagi bisa ditunda. Sebab masyarakat semakin kritis dan menuntut politik yang lebih segar, transparan, dan relevan dengan kebutuhan sehari-hari.

Di titik inilah, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mencoba mengambil peran. Sebagai partai yang dikenal dengan semangat muda dan progresif di tingkat nasional, kehadirannya di Sigi membawa harapan baru.

Baca Juga: Mantap Gabung PSI, Ahmad Ali Jabat Ketua Harian

Figur Adi Kabarani Repadjori (AKR) tampil bukan hanya sebagai kader, tetapi simbol dari upaya melawan kejenuhan politik lokal. Ia datang dengan energi baru, menawarkan jalan lain di tengah kebuntuan tradisi politik lama.

Nama Adi Kabarani Repadjori atau yang akrab disapa AKR, muncul sebagai figur yang dipercaya mampu membawa perubahan itu. Ia bukan sekadar nama baru, tapi representasi dari harapan baru.

Dalam tubuh politik lokal yang sering kali tersandera oleh wajah lama dan pola usang, kehadiran AKR menjadi semacam angin segar yang diharapkan mampu menggugah energi generasi baru.

Kopi akan hambar jika terus diaduk tanpa pernah dituang. Begitu pula gagasan politik, ia akan basi jika tidak pernah diperjuangkan dalam tindakan nyata. AKR hadir dengan janji memperluas ruang partisipasi, terutama bagi kaum muda yang selama ini lebih banyak memilih menjadi penonton ketimbang pelaku.

Baca Juga: Kisah Cinta Ketua Harian PSI Ahmad Ali dan Istri: Berawal dari Pengajian di Poso, Saksi Pernikahan Prof Aminuddin Ponulele

“Kami ingin politik ini ramah untuk semua, bukan hanya milik elite. Politik harus dekat, sederhana, tapi punya arah,” ujar AKR dalam sebuah pertemuan warga di Dolo.

Sigi adalah tanah dengan sejarah panjang, penuh luka akibat bencana, tapi juga penuh daya juang warganya. Di sinilah AKR mencoba menancapkan pijakan politiknya: bukan sekadar untuk menguasai, tetapi untuk melayani.

AKR ingin menunjukkan bahwa politik bisa seindah secangkir kopi susu sore hari—memberi ketenangan, meski tetap ada pahit yang tak bisa dihindari.

Baca Juga: Dari Palu ke New York: Refleksi atas Suara Indonesia di PBB

PSI sendiri tidak lahir dari akar tradisional politik Sigi. Ia adalah pendatang, namun justru itu yang membuatnya berani menawarkan hal berbeda. AKR tampak menyadari, bahwa keberanian tanpa arah hanyalah keriuhan, sedangkan arah tanpa keberanian hanyalah mimpi kosong. Maka, ia berusaha memadukan keduanya: gagasan progresif dengan langkah nyata di lapangan.

Tentu, perjalanan ini tidak mudah. Politik lokal penuh intrik, dan loyalitas warga sering kali masih terikat pada nama besar atau janji pragmatis.

Baca Juga: Diwakili Sekwil Nasdem Sulteng, Ahmad Ali Kembalikan Formulir Pendaftaran Calon Gubernur di DPW PBB

Namun, di situlah tantangan bagi AKR dan PSI: bagaimana meyakinkan publik bahwa perubahan bukan hanya slogan, melainkan kebutuhan mendesak. Bahwa regenerasi politik bukan pilihan, tetapi keniscayaan.

Di sebuah warung kopi di Palolo, seorang petani muda berkata lirih: “Kami butuh figur baru yang mau mendengar, bukan hanya datang saat kampanye. Kalau AKR bisa konsisten, saya yakin anak-anak muda di desa akan ikut bergerak.”

Suara semacam ini menegaskan bahwa harapan rakyat sederhana, tapi sering kali luput dijawab oleh politikus lama.

Baca Juga: Selamat, Pemerintah Tetapkan 24 Lokasi di Poso sebagai Warisan Geologi Nasional

Bersama AKR, PSI mencoba membangun rumah baru di Sigi. Rumah yang pintunya terbuka lebar bagi siapa saja yang mau terlibat. Tidak ada sekat generasi, tidak ada tembok tebal antara elit dan rakyat. Konsep ini sederhana, tapi justru kesederhanaanlah yang membuat politik kembali relevan di tengah masyarakat.

Di sela hiruk-pikuk politik lokal, kehadiran AKR bisa dianalogikan seperti barista muda yang percaya diri meracik kopi di tengah warung-warung lama. Resepnya mungkin berbeda, bahkan asing, tapi bisa jadi itulah yang membuat orang kembali tertarik untuk duduk dan menikmati politik dengan cara baru.

Baca Juga: Ahmad Ali Soroti Kesenjangan Ekonomi di Sulawesi Tengah: Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, Namun Kemiskinan Tetap Menghantui

Pada akhirnya, politik di Sigi bukan hanya soal siapa yang menang dalam kontestasi. Lebih dari itu, ia adalah soal siapa yang bisa memberi arti dalam perjalanan sosial masyarakatnya.

Kehadiran AKR bersama PSI adalah undangan untuk menyeruput kopi dengan cara baru: lebih berani, lebih jujur, dan tentu lebih segar. Dan mungkin, dari situlah nafas baru Sigi akan benar-benar dimulai. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *